65 Tahun Indonesia Merdeka? (Renungan Hari Kemerdekaan NKRI)
[Al Islam 520] Tak terasa sudah 65 tahun usia “kemerdekaan” Indonesia. Saat ini tak ada lagi Belanda atau Jepang yang menjadi penguasa dan pemerintahnya. Namun, kita patut bertanya: Sudahkah rakyat dan bangsa ini benar-benar merdeka dalam pengertian yang sesungguhnya?
Memang, setiap 17 Agustus upcara pengibaran bendera dilakukan sebagai simbol kemerdekaan. Namun, perubahan nasib rakyat negeri ini ke arah yang lebih baik-antara lain rakyat menjadi sejahtera, adil dan makmur-sebagai cita-cita kemerdekaan masih jauh panggang dari api. Nasib mereka malah makin merana, seperti makin lusuhnya bendera sang saka.
Seharusnya dengan ‘umur kemerdekaan’ yang cukup matang (65th), idealnya bangsa ini telah banyak meraih impiannya. Apalagi segala potensi dan energi untuk itu dimiliki oleh bangsa ini. Sayang, fakta lebih kuat berbicara, bahwa Indonesia belum merdeka dari keterjajahan pemikiran, politik, ekonomi, hukum, budaya, dll. Indonesia belum merdeka dari kemiskinan, kebodohan, kerusakan moral dan keterbelakangan. Singkatnya, Indonesia yang dihuni 237 juta jiwa lebih ini (yang mayoritas Muslim; 87%) masih dalam keadaan terjajah!
Pandangan di atas tentu tak mengada-ada. Sebagai contoh, dalam sebuah jajak pendapat yang dilakukan Harian Kompas, masyarakat menilai banyak aspek dan kondisi makin buruk saja pada saat ini. Misal, pada aspek keadilan hukum mereka menyatakan: 59,3% semakin buruk, 13,4%: tetap, 21,6%: semakin baik. Lalu pada aspek keadilan ekonomi mereka menyatakan: 60,7%: semakin buruk, 15,1%: tetap, 21,1%: semakin baik. Saat berbicara pada aspek peran negara, ternyata kesimpulannya: peran negara tidak memadai!
Lalu terkait kemerdekaan, terlihat jelas bahwa masyarakat memandang Indonesia belum merdeka baik dalam bidang ekonomi (67,5%: menyatakan belum merdeka), politik (48,9%; menyatakan belum merdeka), budaya (37,1%: menyatakan belum merdeka).
Pandangan dan penilaian masyarakat di atas rasanya cukup mewakili pandangan mayoritas rakyat Indonesia. Merekalah yang merasakan langsung atau bahkan menjadi obyek penderita dari keterjajahan di berbagai bidang justru di era “kemerdekaan” saat ini. Jadi, Indonesia merdeka, kata siapa?
Potret Nyata Keterjajahan
Dalam rentang waktu 65 tahun, Indonesia masih menyuguhkan potret kehidupan rakyatnya yang masih memprihatinkan. Dari data BPS yang dibacakan Presiden SBY (16/8), jumlah penduduk Indonesia 2010 adalah 237.556.363 jiwa. Yang masuk kategori miskin lebih dari 100 juta penduduk dengan ukuran pendapatan 2 dolar AS/hari.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengaku tingkat pengangguran terbuka pada Agustus 2009, mencapai 8,96 juta orang atau 7,87 persen dari total angkatan kerja sebanyak 113,83 juta orang. Jumlah itu tentu belum termasuk pengangguran ‘tertutup’ ataupun yang setengah menganggur. Dengan kenaikan tarif dasar listrik baru-baru ini, angka pengangguran diduga akan bertambah I juta orang karena akan banyak industri yang melakukan PHK. Di Ibukota Jakarta saja, lebih dari 73 ribu sarjana saat ini menjadi pengangguran.
Alhasil, pidato kenegaraan oleh Presiden setiap tanggal 17 Agustus menjadi tak berarti, karena hanya menjadi ajang “memuji” keberhasilan semu penguasa dan politik pencitraan. Berbusa-busa Presiden bercerita espektasi RAPBN-2011 dan nota keuangan dengan memaparkan asumsi makro dalam RAPBN 2011: pertumbuhan ekonomi Indonesia 6,1 -6,4%; nilai tukar rupiah Rp 9.100-9.400 perdolar AS; inflasi 4,9-5,3%; dll (berdasarkan data BKF/Badan Kebijakan Fiskal). Pemerintah pun berencana menaikkan kembali gaji pegawai negeri sipil, TNI dan Kepolisian Negara RI serta pensiunan masing-masing 10 persen pada tahun anggaran 2011.
Namun, yang tak bisa diingkari adalah potret kemiskinan rakyat dan keterjajahan mereka di negeri sendiri. Rakyat dihadapkan pada kenaikan harga yang makin tidak terkendali, baik bahan pokok (sembako), pupuk pertanian, biaya pendidikan dan kesehatan yang tinggi, dll. Kebijakan Pemerintah untuk menaikkan TDL baru-baru ini jelas makin mendongkrok kenaikan harga kebutuhan-kebutuhan pokok lainnya.
Tak ketinggalan, APBN yang 70% sumbernya adalah dari pajak rakyat, sebagian besarnya justru tidak kembali kepada rakyat. Pasalnya, sebagian dirampok oleh para koruptor, sebagian untuk membayar utang dan bunganya yang bisa mencapai ratusan triliun, dan sebagian lagi untuk membiayai kebijakan yang tidak pro-rakyat. Sebaliknya, anggaran untuk program-program yang pro-rakyat relatif kecil.
Pemerintah pun terkesan lebih mengutamakan para pemilik modal ketimbang rakyat. Contoh: Pemerintah begitu sigap mengucurkan Rp 6,7 triliun (yang akhirnya di rampok juga) untuk Bank Century; sebaliknya begitu abai terhadap korban Lumpur Lapindo hingga hari ini. Pemerintah pun tega untuk terus mengurangi subsidi untuk rakyat di berbagai sektor: pendidikan, pertanian, kesehatan, BBM dan listrik. Yang terbaru, saat banyak rakyat menjadi korban akibat “bom” tabung gas elpiji, Pemerintah justru berencana mencabut subsidi gas elpiji tabung 3 kg. Artinya, harga gas elpiji tabung 3 kg akan dinaikkan dengan alasan untuk mengurangi kesenjangan (disparitas) harga dengan gas elpiji tabung 12 kg. Kesenjangan harga ini dituding sebagai faktor utama yang mendorong terjadinya banyak pengoplosan gas yang sering merusak katup tabung gas, dan pada akhirnya menimbulkan banyaknya kasus ledakan. Padahal jelas, kebijakan Pemerintah yang memaksa rakyat untuk mengkonversi penggunakan minyak tanah ke gas itulah yang menjadi akar masalahnya.
Dengan menyaksikan sekaligus merasakan fakta-fakta di atas, akhirnya bagi rakyat kebanyakan kemerdekaan menjadi sebatas retorika!
Sekadar Klaim
Di hadapan seluruh anggota DPD dan DPR RI di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Senin 16 Agustus 2010, Presiden SBY mengklaim keberhasilan Pemerintah dalam pelaksanaan demokrasi, termasuk Pemilukada langsung. Namun masalahnya, klaim keberhasilan berdemokrasi tidak berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan yang dirasakan oleh rakyat. Inilah ilusi demokrasi. Seorang gubernur gajinya sekitar Rp 8 juta, walikota sekitar Rp 6 juta. Namun, saat hendak merebut kursi kekuasaan, ongkos politik yang mereka keluarkan bisa mencapai ratusan miliar rupiah. Saat terpilih, mereka dituntut untuk menciptakan pemerintahan yang bersih. Tentu, tuntutan itu menjadi mimpi di siang bolong. Faktanya, kasus korupsi, termasuk di daerah-daerah, meningkat tajam justru sejak penguasa daerah, juga wakil rakyat daerah, dipilih langsung melalui Pemilukada. Pada tahun 2010 saja, Presiden SBY sudah meneken izin pemeriksaan 150 kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi. Keadaannya tak jauh berbeda dengan kasus korupsi di pusat kekuasaan, termasuk di DPR, yang notabene lembaga wakil rakyat.
Akar Masalah
Jika kita mau jujur, akar masalah dari semua persoalan di atas ada pada sistem kehidupan yang dipakai oleh Indonesia. Selama 65 tahun “merdeka” negeri ini mengadopsi sistem demokrasi-sekular. Demokrasi pada akhirnya hanya menjadi topeng penjajahan baru atas negeri ini. Pasalnya, melalui sistem dan proses demokrasilah lahir banyak UU dan kebijakan yang justru menimbulkan keterjajahan rakyat di negeri ini. UU KHUP masih warisan penjajah. UU SDA sangat liberal. Demikian pula UU Migas, UU Minerba, UU Kelistrikan, UU Pendidikan, UU Kesehatan dan banyak lagi UU lainnya. Sebagian besar UU yang ada bukan saja tak berpihak kepada rakyat, bahkan banyak yang menzalimi rakyat. Pasalnya, melalui sejumlah UU itulah, sebagian besar sumberdaya alam milik rakyat saat ini justru dikuasai pihak asing. Contoh, kekayaan energi termasuk migas (minyak dan gas) di negeri ini saat ini 90%-nya telah dikuasai perusahaan-perusahaan asing.
Jelas, rakyat negeri ini sesungguhnya masih terjajah oleh negara-negara asing lewat tangan-tangan para pengkhianat di negeri ini. Mereka adalah para komprador lokal yang terdiri dari para penguasa, politikus, wakil rakyat dan intelektual yang lebih loyal pada kepentingan asing karena syahwat kekuasaan dan kebutuhan pragmatisnya. Akibatnya, rakyat seperti “ayam mati di lumbung padi”. Mereka sengsara di negerinya sendiri yang amat kaya. Mereka terjajah justru oleh para pemimpinnya sendiri yang menjadi antek-antek kepentingan negara penjajah.
Kemerdekaan Hakiki
Jelas, kita masih dijajah. Kebijakan ekonomi masih merujuk pada Kapitalisme, ideologi penjajah. Di bidang politik, sistem politik yang kita anut, yakni demokrasi, juga berasal dari negara penjajah. Tragisnya, demokrasi menjadi alat penjajahan baru. Hukum kita pun masih didominasi oleh hukum-hukum kolonial.
Akibatnya, kemiskinan menjadi “penyakit” umum rakyat. Negara pun gagal membebaskan rakyatnya dari kebodohan. Rakyat juga masih belum aman. Pembunuhan, penganiyaan, dan kriminalitas menjadi menu harian rakyat negeri ini. Bukan hanya tak aman dari sesama, rakyat pun tak aman dari penguasa mereka. Hubungan rakyat dan penguasa bagaikan hubungan antarmusuh. Tanah rakyat digusur atas nama pembangunan. Pedagang kaki lima digusur di sana-sini dengan alasan penertiban. Pengusaha tak aman dengan banyaknya kutipan liar dan kewajiban suap di sana-sini. Para aktifis Islam juga tak aman menyerukan kebenaran Islam; mereka bisa ‘diculik’ aparat kapan saja dan dituduh sebagai teroris, sering tanpa alasan yang jelas.
Karena itu, kunci agar kita benar-benar merdeka dari penjajahan non-fisik saat ini adalah dengan melepaskan diri dari: (1) sistem Kapitalisme-sekular dalam segala bidang; (2) para penguasa dan politisi yang menjadi kaki tangan negara-negara kapitalis.
Selanjutnya, kita harus segera menerapkan aturan-aturan Islam dalam seluruh kehidupan kita. Hanya dengan syariah Islamlah kita dapat lepas dari aturan-aturan penjajahan. Hanya dengan syariah Islam pula kita bisa meraih kemerdekaan hakiki.
Syariah Islam yang diterapkan oleh Khilafah Islam akan menjamin kesejahteraan rakyat karena kebijakan politik ekonomi Islam adalah menjamin kebutuhan pokok setiap individu rakyat. Negara juga akan memberikan kemudahan kepada rakyat untuk mendapatkan kebutuhan sekunder dan tersier. Negara pun akan menjamin kebutuhan vital bersama rakyat seperti kesehatan gratis, pendidikan gratis dan kemudahan transportasi. Khilafah Islam juga akan menjamin keamanan rakyat dengan menerapkan hukum yang tegas. Capaian semua itu berdiri tegak di atas sebuah ideologi yang sesuai dengan fitrah manusia, menenteramkan jiwa dan memuaskan akal. Itulah ideologi Islam yang akan menjadi rahmatan lil ‘alamin. Mahabenar Allah Yang berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad saw.) melainkan agar menjadi rahmat bagi alam semesta (QS al-Anbiya’ [21]: 107).
Wallahu a’lam bi ash-shawab. [http://hizbut-tahrir.or.id]
[Al Islam 520] Tak terasa sudah 65 tahun usia “kemerdekaan” Indonesia. Saat ini tak ada lagi Belanda atau Jepang yang menjadi penguasa dan pemerintahnya. Namun, kita patut bertanya: Sudahkah rakyat dan bangsa ini benar-benar merdeka dalam pengertian yang sesungguhnya?
Memang, setiap 17 Agustus upcara pengibaran bendera dilakukan sebagai simbol kemerdekaan. Namun, perubahan nasib rakyat negeri ini ke arah yang lebih baik-antara lain rakyat menjadi sejahtera, adil dan makmur-sebagai cita-cita kemerdekaan masih jauh panggang dari api. Nasib mereka malah makin merana, seperti makin lusuhnya bendera sang saka.
Seharusnya dengan ‘umur kemerdekaan’ yang cukup matang (65th), idealnya bangsa ini telah banyak meraih impiannya. Apalagi segala potensi dan energi untuk itu dimiliki oleh bangsa ini. Sayang, fakta lebih kuat berbicara, bahwa Indonesia belum merdeka dari keterjajahan pemikiran, politik, ekonomi, hukum, budaya, dll. Indonesia belum merdeka dari kemiskinan, kebodohan, kerusakan moral dan keterbelakangan. Singkatnya, Indonesia yang dihuni 237 juta jiwa lebih ini (yang mayoritas Muslim; 87%) masih dalam keadaan terjajah!
Pandangan di atas tentu tak mengada-ada. Sebagai contoh, dalam sebuah jajak pendapat yang dilakukan Harian Kompas, masyarakat menilai banyak aspek dan kondisi makin buruk saja pada saat ini. Misal, pada aspek keadilan hukum mereka menyatakan: 59,3% semakin buruk, 13,4%: tetap, 21,6%: semakin baik. Lalu pada aspek keadilan ekonomi mereka menyatakan: 60,7%: semakin buruk, 15,1%: tetap, 21,1%: semakin baik. Saat berbicara pada aspek peran negara, ternyata kesimpulannya: peran negara tidak memadai!
Lalu terkait kemerdekaan, terlihat jelas bahwa masyarakat memandang Indonesia belum merdeka baik dalam bidang ekonomi (67,5%: menyatakan belum merdeka), politik (48,9%; menyatakan belum merdeka), budaya (37,1%: menyatakan belum merdeka).
Pandangan dan penilaian masyarakat di atas rasanya cukup mewakili pandangan mayoritas rakyat Indonesia. Merekalah yang merasakan langsung atau bahkan menjadi obyek penderita dari keterjajahan di berbagai bidang justru di era “kemerdekaan” saat ini. Jadi, Indonesia merdeka, kata siapa?
Potret Nyata Keterjajahan
Dalam rentang waktu 65 tahun, Indonesia masih menyuguhkan potret kehidupan rakyatnya yang masih memprihatinkan. Dari data BPS yang dibacakan Presiden SBY (16/8), jumlah penduduk Indonesia 2010 adalah 237.556.363 jiwa. Yang masuk kategori miskin lebih dari 100 juta penduduk dengan ukuran pendapatan 2 dolar AS/hari.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengaku tingkat pengangguran terbuka pada Agustus 2009, mencapai 8,96 juta orang atau 7,87 persen dari total angkatan kerja sebanyak 113,83 juta orang. Jumlah itu tentu belum termasuk pengangguran ‘tertutup’ ataupun yang setengah menganggur. Dengan kenaikan tarif dasar listrik baru-baru ini, angka pengangguran diduga akan bertambah I juta orang karena akan banyak industri yang melakukan PHK. Di Ibukota Jakarta saja, lebih dari 73 ribu sarjana saat ini menjadi pengangguran.
Alhasil, pidato kenegaraan oleh Presiden setiap tanggal 17 Agustus menjadi tak berarti, karena hanya menjadi ajang “memuji” keberhasilan semu penguasa dan politik pencitraan. Berbusa-busa Presiden bercerita espektasi RAPBN-2011 dan nota keuangan dengan memaparkan asumsi makro dalam RAPBN 2011: pertumbuhan ekonomi Indonesia 6,1 -6,4%; nilai tukar rupiah Rp 9.100-9.400 perdolar AS; inflasi 4,9-5,3%; dll (berdasarkan data BKF/Badan Kebijakan Fiskal). Pemerintah pun berencana menaikkan kembali gaji pegawai negeri sipil, TNI dan Kepolisian Negara RI serta pensiunan masing-masing 10 persen pada tahun anggaran 2011.
Namun, yang tak bisa diingkari adalah potret kemiskinan rakyat dan keterjajahan mereka di negeri sendiri. Rakyat dihadapkan pada kenaikan harga yang makin tidak terkendali, baik bahan pokok (sembako), pupuk pertanian, biaya pendidikan dan kesehatan yang tinggi, dll. Kebijakan Pemerintah untuk menaikkan TDL baru-baru ini jelas makin mendongkrok kenaikan harga kebutuhan-kebutuhan pokok lainnya.
Tak ketinggalan, APBN yang 70% sumbernya adalah dari pajak rakyat, sebagian besarnya justru tidak kembali kepada rakyat. Pasalnya, sebagian dirampok oleh para koruptor, sebagian untuk membayar utang dan bunganya yang bisa mencapai ratusan triliun, dan sebagian lagi untuk membiayai kebijakan yang tidak pro-rakyat. Sebaliknya, anggaran untuk program-program yang pro-rakyat relatif kecil.
Pemerintah pun terkesan lebih mengutamakan para pemilik modal ketimbang rakyat. Contoh: Pemerintah begitu sigap mengucurkan Rp 6,7 triliun (yang akhirnya di rampok juga) untuk Bank Century; sebaliknya begitu abai terhadap korban Lumpur Lapindo hingga hari ini. Pemerintah pun tega untuk terus mengurangi subsidi untuk rakyat di berbagai sektor: pendidikan, pertanian, kesehatan, BBM dan listrik. Yang terbaru, saat banyak rakyat menjadi korban akibat “bom” tabung gas elpiji, Pemerintah justru berencana mencabut subsidi gas elpiji tabung 3 kg. Artinya, harga gas elpiji tabung 3 kg akan dinaikkan dengan alasan untuk mengurangi kesenjangan (disparitas) harga dengan gas elpiji tabung 12 kg. Kesenjangan harga ini dituding sebagai faktor utama yang mendorong terjadinya banyak pengoplosan gas yang sering merusak katup tabung gas, dan pada akhirnya menimbulkan banyaknya kasus ledakan. Padahal jelas, kebijakan Pemerintah yang memaksa rakyat untuk mengkonversi penggunakan minyak tanah ke gas itulah yang menjadi akar masalahnya.
Dengan menyaksikan sekaligus merasakan fakta-fakta di atas, akhirnya bagi rakyat kebanyakan kemerdekaan menjadi sebatas retorika!
Sekadar Klaim
Di hadapan seluruh anggota DPD dan DPR RI di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Senin 16 Agustus 2010, Presiden SBY mengklaim keberhasilan Pemerintah dalam pelaksanaan demokrasi, termasuk Pemilukada langsung. Namun masalahnya, klaim keberhasilan berdemokrasi tidak berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan yang dirasakan oleh rakyat. Inilah ilusi demokrasi. Seorang gubernur gajinya sekitar Rp 8 juta, walikota sekitar Rp 6 juta. Namun, saat hendak merebut kursi kekuasaan, ongkos politik yang mereka keluarkan bisa mencapai ratusan miliar rupiah. Saat terpilih, mereka dituntut untuk menciptakan pemerintahan yang bersih. Tentu, tuntutan itu menjadi mimpi di siang bolong. Faktanya, kasus korupsi, termasuk di daerah-daerah, meningkat tajam justru sejak penguasa daerah, juga wakil rakyat daerah, dipilih langsung melalui Pemilukada. Pada tahun 2010 saja, Presiden SBY sudah meneken izin pemeriksaan 150 kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi. Keadaannya tak jauh berbeda dengan kasus korupsi di pusat kekuasaan, termasuk di DPR, yang notabene lembaga wakil rakyat.
Akar Masalah
Jika kita mau jujur, akar masalah dari semua persoalan di atas ada pada sistem kehidupan yang dipakai oleh Indonesia. Selama 65 tahun “merdeka” negeri ini mengadopsi sistem demokrasi-sekular. Demokrasi pada akhirnya hanya menjadi topeng penjajahan baru atas negeri ini. Pasalnya, melalui sistem dan proses demokrasilah lahir banyak UU dan kebijakan yang justru menimbulkan keterjajahan rakyat di negeri ini. UU KHUP masih warisan penjajah. UU SDA sangat liberal. Demikian pula UU Migas, UU Minerba, UU Kelistrikan, UU Pendidikan, UU Kesehatan dan banyak lagi UU lainnya. Sebagian besar UU yang ada bukan saja tak berpihak kepada rakyat, bahkan banyak yang menzalimi rakyat. Pasalnya, melalui sejumlah UU itulah, sebagian besar sumberdaya alam milik rakyat saat ini justru dikuasai pihak asing. Contoh, kekayaan energi termasuk migas (minyak dan gas) di negeri ini saat ini 90%-nya telah dikuasai perusahaan-perusahaan asing.
Jelas, rakyat negeri ini sesungguhnya masih terjajah oleh negara-negara asing lewat tangan-tangan para pengkhianat di negeri ini. Mereka adalah para komprador lokal yang terdiri dari para penguasa, politikus, wakil rakyat dan intelektual yang lebih loyal pada kepentingan asing karena syahwat kekuasaan dan kebutuhan pragmatisnya. Akibatnya, rakyat seperti “ayam mati di lumbung padi”. Mereka sengsara di negerinya sendiri yang amat kaya. Mereka terjajah justru oleh para pemimpinnya sendiri yang menjadi antek-antek kepentingan negara penjajah.
Kemerdekaan Hakiki
Jelas, kita masih dijajah. Kebijakan ekonomi masih merujuk pada Kapitalisme, ideologi penjajah. Di bidang politik, sistem politik yang kita anut, yakni demokrasi, juga berasal dari negara penjajah. Tragisnya, demokrasi menjadi alat penjajahan baru. Hukum kita pun masih didominasi oleh hukum-hukum kolonial.
Akibatnya, kemiskinan menjadi “penyakit” umum rakyat. Negara pun gagal membebaskan rakyatnya dari kebodohan. Rakyat juga masih belum aman. Pembunuhan, penganiyaan, dan kriminalitas menjadi menu harian rakyat negeri ini. Bukan hanya tak aman dari sesama, rakyat pun tak aman dari penguasa mereka. Hubungan rakyat dan penguasa bagaikan hubungan antarmusuh. Tanah rakyat digusur atas nama pembangunan. Pedagang kaki lima digusur di sana-sini dengan alasan penertiban. Pengusaha tak aman dengan banyaknya kutipan liar dan kewajiban suap di sana-sini. Para aktifis Islam juga tak aman menyerukan kebenaran Islam; mereka bisa ‘diculik’ aparat kapan saja dan dituduh sebagai teroris, sering tanpa alasan yang jelas.
Karena itu, kunci agar kita benar-benar merdeka dari penjajahan non-fisik saat ini adalah dengan melepaskan diri dari: (1) sistem Kapitalisme-sekular dalam segala bidang; (2) para penguasa dan politisi yang menjadi kaki tangan negara-negara kapitalis.
Selanjutnya, kita harus segera menerapkan aturan-aturan Islam dalam seluruh kehidupan kita. Hanya dengan syariah Islamlah kita dapat lepas dari aturan-aturan penjajahan. Hanya dengan syariah Islam pula kita bisa meraih kemerdekaan hakiki.
Syariah Islam yang diterapkan oleh Khilafah Islam akan menjamin kesejahteraan rakyat karena kebijakan politik ekonomi Islam adalah menjamin kebutuhan pokok setiap individu rakyat. Negara juga akan memberikan kemudahan kepada rakyat untuk mendapatkan kebutuhan sekunder dan tersier. Negara pun akan menjamin kebutuhan vital bersama rakyat seperti kesehatan gratis, pendidikan gratis dan kemudahan transportasi. Khilafah Islam juga akan menjamin keamanan rakyat dengan menerapkan hukum yang tegas. Capaian semua itu berdiri tegak di atas sebuah ideologi yang sesuai dengan fitrah manusia, menenteramkan jiwa dan memuaskan akal. Itulah ideologi Islam yang akan menjadi rahmatan lil ‘alamin. Mahabenar Allah Yang berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad saw.) melainkan agar menjadi rahmat bagi alam semesta (QS al-Anbiya’ [21]: 107).
Wallahu a’lam bi ash-shawab. [http://hizbut-tahrir.or.id]
0 komentar:
Posting Komentar